A. Menelusuri Konsep dan Urgensi Penegakan Hukum yang
Berkeadilan
Pernahkah Anda berpikir, seandainya di sebuah masyarakat atau negara
tidak ada hukum? Jawaban Anda tentunya akan beragam. Mungkin ada
yang menyatakan kehidupan masyarakat menjadi kacau, tidak aman,
banyak tindakan kriminal, dan kondisi lain yang menunjukkan tidak tertib
dan tidak teratur. Namun, mungkin juga ada di antara Anda yang
menyatakan, tidak adanya hukum di masyarakat atau negara aman-aman
saja, tidak ada masalah.
Bagaimana pendapat Anda? Setujukah Anda
dengan pendapat pertama atau yang kedua?
Thomas Hobbes (1588–1679 M) dalam bukunya Leviathan pernah
mengatakan “Homo homini lupus”, artinya manusia adalah serigala bagi
manusia lainnya. Manusia memiliki keinginan dan nafsu yang berbeda-beda
antara manusia yang satu dan yang lainnya. Nafsu yang dimiliki manusia ada yang baik, ada nafsu yang tidak baik. Inilah salah satu argumen
Mengapa aturan hukum diperlukan. Kondisi yang kedua tampaknya bukan
hal yang tidak mungkin bila semua masyarakat tidak memerlukan aturan
hukum. Namun, Cicero (106 – 43 SM) pernah menyatakan “Ubi societas ibi
ius”, artinya di mana ada masyarakat, di sana ada hukum. Dengan kata lain,
sampai saat ini hukum masih diperlukan bahkan kedudukannya semakin
penting.
Dari bunyi alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945 ini dapat diidentifikasi
bahwa tujuan Negara Republik Indonesia pun memiliki indikator yang sama
sebagaimana yang dinyatakan Kranenburg, yakni:
1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia
2) memajukan kesejahteraan umum
3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial
B. Menanya Alasan Mengapa Diperlukan Penegakan Hukum
yang Berkeadilan
Sebagaimana telah diuraikan pada Bab IV, terdapat enam agenda
reformasi, satu di antaranya adalah penegakan hukum.
Dari sebanyak tuntutan masyarakat, beberapa sudah mulai terlihat
perubahan ke arah yang positif, namun beberapa hal masih tersisa.
Mengenai penegakan hukum ini, hampir setiap hari, media massa baik
elektronik maupun cetak menayangkan masalah pelanggaran hukum baik
terkait dengan masalah penegakan hukum yang belum memenuhi rasa
keadilan masyarakat maupun masalah pelanggaran HAM dan KKN.
Pada Bab I, telah diungkapkan sejumlah permasalahan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Beberapa di antaranya yang
terkait dengan masalah penegakan hukum adalah:
1. Perilaku warga negara khususnya oknum aparatur negara banyak yang
belum baik dan terpuji (seperti masih ada praktik KKN, praktik suap,
perilaku premanisme, dan perilaku lain yang tidak terpuji);
2. Masih ada potensi konflik dan kekerasan sosial (seperti SARA, tawuran,
pelanggaran HAM, etnosentris, dan lan-lain);
3. Maraknya kasus-kasus ketidakadilan sosial dan hukum yang belum
diselesaikan dan ditangani secara tuntas;
4. Penegakan hukum yang lemah karena hukum bagaikan pisau yang
tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, dan
4. Pelanggaran oleh Wajib Pajak atas penegakan hukum dalam bidang
perpajakan.
Peradilan umum merupakan peradilan bagi
rakyat pada umumnya baik mengenai perkara Perdata maupun perkara
Pidana.
a. Peradilan Agama
Peradilan agama terbaru diatur dalam Undang-Undang nomor 50 tahun
2009 sebagai perubahan kedua atas UU No. 7 tahun 1989. Berdasar
undang-undang tersebut, Peradilan Agama bertugas dan berwewenang
memeriksa perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang: a) perkawinan; b) kewarisan, wasiat, dan hibah
yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c) wakaf dan shadaqah.
b. Peradilan Militer
Wewenang Peradilan Militer menurut Undang-Undang Darurat No. 16/1950
yang telah diperbaharui menjadi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan
Militer adalah memeriksa dan memutuskan perkara Pidana terhadap
kejahatan atau pelanggaran yang diakukan oleh:
1) seorang yang pada waktu itu ada ah anggota Angkatan Perang RI;
2) seorang yang pada waktu itu adalah orang yang oleh Presiden dengan
Peraturan Pemerintah ditetapkan sama dengan Angkatan Perang RI;
3) seorang yang pada waktu itu ialah anggota suatu golongan yang
dipersamakan atau dianggap sebagai Angkatan Perang RI oleh atau
berdasarkan Undang-Undang;
4) orang yang tidak termasuk golongan tersebut di atas (1,2,3) tetapi atas
keterangan Menteri Kehakiman harus diadili oleh Pengadilan dalam
lingkungan peradilan Militer.
Latar Belakang Historis Wawasan Nusantara
Lahirnya konsepsi wawasan nusantara bermula dari Perdana Menteri Ir. H.
Djuanda Kartawidjaja yang pada tanggal 13 Desember 1957 mengeluarkan
deklarasi yang selanjutnya dikenal sebagai Deklarasi Djuanda. Isi deklarasi
tersebut sebagai berikut:
"Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau�pulau yang termasuk Negara Indonesia dengan tidak memandang luas atau
lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara
Indonesia dan dengan demikian bagian daripada perairan pedalaman atau
nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Indonesia. Lalu lintas
yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan
sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan
Negara Indonesia. Penentuan batas landas lautan teritorial (yang lebarnya 12 mil)
diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar pada pulau�pulau Negara Indonesia. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas akan diatur selekas�lekasnya dengan Undang-Undang"
Isi pokok deklarasi ini adalah bahwa lebar laut teritorial Indonesia 12 mil
yang dihitung dari garis yang menghubungkan pulau terluar Indonesia.
Dengan garis teritorial yang baru ini wilayah Indonesia menjadi satu
kesatuan wilayah. Laut di antara pulau bukan lagi sebagai pemisah, karena
tidak lagi laut bebas, tetapi sebagai penghubung pulau.
Sebelum keluarnya Deklarasi Djuanda, wilayah Indonesia didasarkan pada
Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939)Di
Tidak ada komentar:
Posting Komentar